Sunday, November 25, 2007

Perang Lebaran (2) : Meriam Garut !!

Judul diatas tidak saya tambahkan kalimat “Cerita dari Rambong”, karena memang cerita ‘peperangan’ kali ini bukan berasal dari Desa Rambong, melainkan dari sebuah Desa di Pidie (masih kampung saya juga) yang bernama Desa Garut.

---

Ketika Lebaran tiba, tidak anak-anak saja yang memiliki tradisi “Perang Lebaran”, disini (Desa Garut) mulai dari anak-anak sampai orang tua pun terlibat dalam “peperangan” ini, tapi lagi-lagi tidak perlu khawatir, karena perang ini tidak akan menimbulkan korban nyawa, walaupun bisa jadi akan menimbulkan banyak “korban” rusaknya pendengaran.

Perang yang satu ini, walaupun tidak menggunakan peluru tajam, tapi bunyi yang ditimbulkan akibat perang ini bagaikan Bom Nagasaki-Hirosyima, perang yang saya maksud adalah “Perang Meriam Bambu !!” inilah perang-perangan ala Desa Garut, setiap kali Malam Takbiran datang, maka penduduk Desa ini selalu membuat Meriam Bambu yang walaupun tidak ada pelurunya tapi setiap kali Meriam ini dinyalakan maka siap-siap saja kita menutup kedua telinga kita serapat-rapatnya.


Meriam Bambu

Desa ini setau saya (belum yakin banget) dipisahkan oleh sebuah sungai, sehingga pertempuran antara dua kubu pun juga dipisahkan oleh sungai, yang satu disebarang sana yang satunya lagi disebelah sini, kalau diibaratkan mungkin seperti situasi Perang Dunia ke-2 dimana pasukan Sekutu berusaha merebut jembatan penting yang dipertahankan oleh pasukan Jerman.

Karena perang ini tidak memakai peluru, tolak ukur yang dipakai untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah ditentukan oleh siapa yang paling besar suara meriamnya, karena ini inti dari Meriam Bambu tersebut adalah menciptakan suara ‘BUUUUMMM !!!” se-keras-kerasnya !! indikatornya yang menjadi pemenang adalah tepukan para penonton (yang tidak hanya dari desa Garut saja karena pertunjukkan spektakuler ini juga menjadi tontonan bagi para penduduk desa-desa lainnya), siapa yang bisa menghasilkan suara paling besar maka penonton pun akan langsung memberikan applause, begitu pula sebaliknya siapa yang menghasilkan suara yang ‘melempem’, maka siap-siap saja diberi teriakan “Huuuuuuu….” oleh para penoton, tapi pada akhirnya sih sebenarnya tidak ada yang kalah dan yang menang karena semuanya hanya untuk senang-senang saja.


Anak-anak kecil juga dilibatkan loh !!!

Sebenarnya yang menjadi “Weapon of Mass Destruction” dalam perang ini tidak hanya meriam bambu saja, ada lagi yang senjata yang lebih powerful (tapi saya ngga ada fotonya), saya sendiri tidak tau nama senjatanya apa, yang saya tau hanya cara membuatnya, yaitu dengan membuat lubang ditanah dan ditanah tersebut akan ditanam sebuah “tong” yang didalam tong tersebut akan di isi karbit dan setelah terisi karbit langsung dinyalakan dengan obor.

Begitu dinyalakan, suara sekeras Bom Atom pun akan langsung Menggelegar !!! bukan hanya itu, senjata ini lebih dari sekedar menghasilkan bunyi keras saja, getaran yang diakibatkan oleh senjata yang ditanam ke tanah ini bisa menghasilkan “gempa lokal” bagaikan gempa berkekekuatan 3,5 scala richter (kira-kira) !! ini cukup membuat mobil-mobil disekitar, bangungan-bangunan disekitar dan juga jembatan disekitar arena pertempuran akan merasakan sedikit getaran..


Salah satu jembatan didekat arena pertempuran. Jika sedang lewat sini, siap-siap saja merasakan getaran disertai angin kencang bagaikan angin yang dihasilkan oleh kipas raksasa.

Sisi Negatif-nya
Perang ini memang penuh dengan adrenaline rush !! menyenangkan !! , dan tentunya sangat mengibur !! namun ada beberapa sisi negatif dari tradisi ini yang saya kurang setuju, pertama perang ini diadakan ketika malam takbiran, sehingga pada saat itu di Desa Garut suara Takbiran dimesjid-mesjid ataupun di Meunasah-Meunasah kalah telak dengan suara dari Meriam-meriam tersebut.

Yang kedua, perang ini memakan biaya yang cukup mahal, kalau menurut sepupu saya, hampir setiap pengusaha Garut yang merantau akan dimintai jatah sebesar 1-5 jutaan untuk dibelikan karbit !! dan jika diestimasi total biaya ini bisa memakan biaya sampai puluhan juta rupiah !! sayangkan jika uang-uang tersebut hanya menjadi ‘suara’ saja ?? Mungkin jika memang bangsa ini sudah makmur..bolehlah !! tapi kita kan belum makmur… :(

Mungkin jalan keluar terbaik adalah, pertama, adakan perang ini setelah malam takbiran, agar tidak mengganggu kegiatan takbiran di Masjid-Masjid atau di Meunasah-Meunasah, dan sebagai gantinya adakan suatu kegiatan yang lebih ‘takbiran’ atau lebih ke-arah ‘sedih’ kita ketika ditinggal Ramadhan, usulan saya yang kedua, jadikan kegiatan ini sebagai sesuatu yang menjual bagi para turis “domestik” atau jika mungkin turis “mancanegara”, sehingga uang yang dibeli untuk karbit dengan sendirinya akan balik modal dengan pendapatan dari para pedagang-pedangang Desa Garut yang berjualan kita para turis-turis itu mendatangi “War Zone”.

Tapi masalahnya emangnya ada yang mau dengerin usulan saya :(

Sunday, November 18, 2007

Cerita dari Rambong (6) : PERANG LEBARAN (1) !!!

Siapa bilang Aceh sudah damai !! buktinya setiap kali Lebaran datang, selalu saja terjadi peperangan antar Anak Desa !!
----

Beberapa tahun terakhir ini, sebagian wilayah Aceh memiliki tradisi baru yang cukup unik, yaitu Berperang ketika Lebaran !!! tapi tenang saja, walaupun berperang tapi tidak akan ada korban jiwanya, karena yang berperang itu Anak-anak Desa yang hanya bersenjatakan “senjata mainan” ^.^

Tapi permainan ini bukan permainan perang-perangan biasa !! karena Permainan ini melibatkan RATUSAN atau bahkan RIBUAN (hiperbola dikit) anak Aceh, dan uniknya walaupun jumlah pemainnya sangat banyak, namun permainan ini tidak menjadi kocar-kacir (tidak beraturan), justru sebaliknya permainan ini sangat terorganisir, karena para pemainnya membuat kelompok-kelompok kecil yang biasanya pengelompokannya berdasarkan asal Desanya masing-masing.

Kemudian kelompok-kelompok kecil itu nanti dengan sendirinya akan membuat 2 Tim Besar !! Tim yang Pertama adalah “Tim Penyerbu”. Tim Penyerbu adalah Tim yang akan melintasi jalan-jalan raya dengan kendaraan tempurnya (bisa becak, mobil pickup, labi-labi, atau dump truck) untuk mencari para “musuh”, dan ketika sudah bertemu dengan “musuh” tentunya serangan secara sporadis pun akan segara dilancarkan oleh Tim Penyerbu.

Laskar Rambong dengan kendaraan tempurnya (becak) siap untuk menyerbu “musuh” dari desa-desa lain…

Selain becak, mobil pick up juga bisa jadi kendaraan tempur..

Sedangkan Tim yang kedua adalah “Tim Penyergap” tim ini tidak menggunakan kendaraan tempur, namun mereka secara berkelompok biasanya menunggu di pinggir-pinggir jalan di depan desanya untuk siap-siap menyerang “Tim Penyerbu” yang sering melintas dengan kendaraan tempurnya.

Tim Penyergap siap menyergap Tim Penyerbu yang sering melintas di jalan dengan kendaraan tempurnya…

Sehingga begitu kedua Tim ini bertemu dijalan maka baku tembak pun tak terelakkan lagi, dan untuk menambah suasana lebih berbau peperangan, tidak sedikit dari prajurit-prajurit ‘cilik’ yang membawa petasan banting, sehingga bunyi-bunyi petasan ditambah dengan baku tembak peluru-peluru plastik rasanya sudah cukup membuat mereka serasa berada dalam “Perang Dunia ke-3”.

Pemandangan unik ini dapat disaksikan selama Libur Lebaran, dan jalur yang paling “rawan” adalah jalur Banda Aceh-Medan yang jaraknya bisa puluhan kilometer atau mungkin ratusan kilometer, di jalur ini hampir setiap beberapa ratus meter saja pasti ada saja terjadi ‘peperangan’ antar kedua kubu (tim), makanya saya tidak berlebihan jika menyebutkan jumlah pemainnya bisa mencapai Ratusan atau bahkan Ribuan Anak, karena memang permainan ini sudah menjadi semacam tradisi di sebagian wilayah Aceh yang selalu diadakan setiap kali Liburan Lebaran datang.

Jadi kalau begini terus !! kapan Aceh bisa damai donk ?? ^^

Friday, November 16, 2007

Cerita dari Rambong (5) : Tiga Versi Tata peLetakan “Rumoh Aceh”

“ Sesuai janji saya sebelumnya, sekarang saatnya keluar dari ‘dapur’ rumah, untuk jalan-jalan sedikit di Desa Rambong :) “
---


Misi jalan-jalan kali ini dikhususkan untuk ‘studi wisata’ tentang “Rumoh Aceh” (rumah tradisional masyarakat Aceh) tentunya saya tidak akan menjelaskan secara lengkap dan detail tentang Rumoh Aceh di posting ini, mengingat pengetahuan saya tentang Rumoh Aceh masih sangat minim.

Jadi…Sesuai dengan judulnya “3 Versi Tata peLetakan Rumoh Aceh” (judul yang aneh..) saya ingin menyampaikan hasil “studi wisata” di Desa Rambong yang ada hubungannya dengan “Bagaimana orang Aceh meletakkan Rumah Tradisionalnya di Era keKiniaan” (kok mirip-mirip judul skripsi ya…??)

1. Rumoh Aceh menjadi satu-satunya Rumah.
Walaupun sekarang zamannya rumah beton, tapi bagi sebagian masyarakat Aceh, Rumoh Aceh yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun rumbia tetaplah menjadi pilihan utama, biasanya hal ini terjadi karena memang dari sang pemilik rumah adalah para sesepuh yang masih memegang kuat tradisi dan memang tinggal dan hidup di pedesaan. Dan kemungkinan kedua adalah biasanya si pemilik rumah tidak memiliki kemampuan finansial untuk membuat rumah dari Beton, sehingga Rumoh Aceh yang tidak memakan biaya mahal menjadi pilihan..

Rumoh Aceh ini 99,9% asli Rumoh Aceh, artinya hampir tidak ada unsur-unsur modern dalam rumah ini..

2. Rumoh Aceh yang ditempel (bersatu) dengan rumah Beton
Biasanya model seperti ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya faktor ekonomi dari si pemilik Rumoh Aceh, sehingga dengan kemampuan finansial yang cukup, si pemilik rumah dapat membuat rumah baru yang berbahan beton, namun karena si pemilik rumah masih memiliki perasaan ‘cinta’ dengan Rumoh Acehnya, ditempel-lah rumah Beton dengan Rumoh Aceh sehingga menjadi satu rumah.

Salah satu Rumoh Aceh yang ditempel dengan Rumah beton

3. Rumoh Aceh terpisah dengan rumah beton (belum punya foto-nya)
Maksudnya terpisah disini adalah dalam satu halaman ada dua rumah, yang satu rumah dari beton, yang satunya lagi Rumoh Aceh. Nahh kalo ini ada dua kemungkinan.. kemungkinan pertama, ada orang yang awalnya tinggal di Rumoh Aceh, dan pada saat kebetulan ada rezeki, akhirnya dibuatlah rumah beton, tapi tidak ditempel dengan Rumoh Aceh, melainkan dibuat bersebelahan dengan Rumoh Acehnya.

Kemungkinan kedua, awalnya ada orang yang sudah punya rumah beton, dan kebetulan ada rezeki dan memiliki keinginan punya Rumoh Aceh dengan alasan “belum lengkap jika orang Aceh tidak punya Rumoh Aceh” akhirnya dibuatlah Rumoh Aceh bersebelahan dengan Rumah Beton… biasanya fenomena ini terjadi pada orang-orang yang secara finansial lebih dari cukup, jadi membuat Rumoh Aceh lebih kepada unsur kepuasan batin dan juga sebagai upaya pelestarian budaya nenek moyang.

Walaupun ‘studi’-nya hanya mengambil sample “Desa Rambong” tapi Insya Allah ini sudah cukup untuk bisa menjelaskan secara singkat tentang bagaimana orang Aceh meletakkan Rumah Tradisionalnya.

Dan untuk pembahasan lebih lengkap tentang rumah Aceh, Insya Allah nanti coba saya lengkapi diposting-posting yang akan datang ya !! *soalnya harus ngumpulin foto-foto dan informasi-informasi yang lebih lengkap & akurat dulu nih :)

Friday, November 9, 2007

Cerita dari Rambong (4) : “Lontong” Made In Rambong

Sebelumnya maaf nih kalau postingan ini masih seputar urusan dalam “Rumah”, belum mau keluar rumah nih… Insya Allah setelah posting ini saya ajak main-main keluar deh 
Memang kalau dipikir-pikir orang desa itu lebih “mandiri” daripada orang kota, mulai dari masalah Sandang, Pangan, sampai Papan, rata-rata kehidupan mereka sehari-hari diurusi dengan cara-cara yang unik dan tidak terlalu rumit ! dan satu lagi contoh kemandirian ala orang desa (Rambong) yaitu dengan membuat Lontong sendiri alias tidak harus beli, khususnya ketika Lebaran tiba !

Ternyata membuat lontong sendiri itu tidak terlalu susah loh, pertama sediakan beras, air *kalau tidak salah*, dan daun pisang, setelah sudah siap dengan bahan-bahannya, tinggal dimasukkan saja semuanya ke dalam cetakan lontong, dan rebus hingga matang !! setelah matang, itu artinya lontong sudah siap dikeluarkan dari cetakan lontong, dan lontong pun siap untuk disajikan

1. Cetakan Lontong
Masukkan beras,daun pisang dan sedikit air *kalau tidak salah*, trus langsung direbus !!

2. Setelah matang, tinggal dikeluarin dari cetakannya !!

3. Jangan lupa lontongnya dicampur dengan Kuah Lontong yang dibuat di dapur khusus berbahan bakar kayu :)

Beras dari sawah sendiri, lontong dibuat sendiri, bahan bakarnya dari kayu punya sendiri, inilah “Lontong” Made In Rambong siap untuk dimakaaaaannnn !!

Saturday, November 3, 2007

Cerita dari Rambong (3) : Kompor Energi Kayu

Disaat pemerintah sedang sibuk-sibuknya mengupayakan konversi Minyak Tanah ke Gas Elpiji guna mencari solusi seputar masalah ke-Energiaan di Negeri kita ini, ternyata disini para penduduk yang tinggal dipedesaan (termasuk di Desa Rombong) sudah lebih dulu memiliki ide konversi minyak tanah, bahan baku yang digunakan itu sendiri adalah Kayu Bekas yang bisa dijadikan energi sebagai pengganti minyak tanah (khususnya dalam urusan dapur)

Untuk itulah di Rumah orang tua Saya di Desa Rambong memiliki 2 (dua) buah dapur, dapur yang pertama kompornya menggunakan Gas Elpiji, dan dapur yang ke dua kompornya menggunakan bahan bakar Kayu Bekas.

Panci boleh item, tapi rasa kuah lontongnya ituloh !! maknyus !!

Memang biasanya dapur khusus ini lebih sering dipakai untuk memasak air, tapi bukan berarti hanya bisa dipakai untuk memasak air saja, masak-masak lainnya juga bisa. Insya Allah dengan adanya dapur khusus ini penghematan bahan bakar rumah tangga bisa dilakukan secara signifikan, itu artinya walaupun tetap memakai kompor gas tapi pengeluaran untuk membeli gas elpiji bisa ditekan !

Selain Kayu, sabut kelapa pun bisa dijadikan bahan bakar memasak didapur khusus tersebut.

Tidak perlu khawatir kehabisan kayu, kalau kurang tinggal ambil dibelakang rumah aja ! masih banyak persediaan kok !!

Ide yang bagus bukan ? memang terkadang kita suka terheran dengan orang-orang di Desa yang walaupun mereka mikirnya ngga rumit-rumit amat (sederhana), tapi kadang-kadang mereka punya cara yang cerdas untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-harinya, gimana ? tertarik punya dapur khusus dirumah ???