Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya di berbagai media-media, minggu lalu sempat terjadi peristiwa yang cukup menghebohkan dan bahkan cukup menjadi headline-headline di berbagai media, kejadian itu adalah ketika Group Band yang sedang naik daun, “NIDJI”, gagal menggelar konser di Aceh.
Walaupun beritanya tergolong sudah agak ‘basi’, tapi berhubung banyak berita-berita yang berkembang lebih ke-arah penilaian yang terlalu menyudutkan Penerapan Syariat Islam di Aceh, dan juga seolah-olah menyudutkan Syariat Islam mencerminkan “Ekstrimisme”. Makanya melalui posting ini Saya coba untuk meluruskan sedikit wacana yang menurut saya agak-agak meruncing kepada ‘Anti’ Syariat Islam.
Ceritanya berawal ketika “Djarum Black” mengadakan konser “One Nation Concert 2007” dengan menghadirkan “NIDJI” sebagai bintang tamu utamanya featuring “Rebbeca”, “Repvblik”, serta Group Band “Kertas”. Konser yang diadakan di Taman Sri Ratu Safiatudin di Banda Aceh pada tanggal 25-26 Agustus 2007, pada akhirnya, pas hari ke-2 nya *Jadwal NIDJI manggung* harus dibatalkan, lantaran pencabutan izin mengadakan konser oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh.
(klik gambarnya, untuk gambar besarnya)
*maaf ya.. fotonya pake blitz, jadi vokalisnya ngga jelas deh gambarnya*
Izin Konser di Aceh
Di Aceh, untuk mendapatkan izin menggelar konser, tidak cukup hanya mendapat izin dari Polda setempat, namun lebih dari itu, pihak penyelenggara juga harus mengantongi izin dari Dinas Kebudayaan, dan juga izin dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Dan salah satu pasal dari syarat yang diberikan oleh MPU adalah pemisahan antara penonton Laki-laki dengan penonton Perempuan.
Pasal tersebutlah yang akhirnya dilanggar oleh pihak penyelenggara, Bunga Event Management (BEM), dimana pada hari pertama konser, pas di hari jadwalnya “Rebbeca” manggung *NIDJI tidak tampil*, pihak MPU kecewa dengan penyelenggaraan konser tersebut yang ternyata tidak ada pembatas antara penonton Laki-laki dengan Perempuan, yang memang sangat berbeda dengan konser-konser sebelumnya yang digelar di Aceh yang menggunakan pemisah.
Sebut saja konser duo RATU di Aceh beberapa tahun yang lalu, dimana ketika itu penontonnya dipisah, dan bukan hanya itu, ketika itu RATU pun mengenakan busana yang tergolong ‘agak’ sopan dan bahkan menggunakan ‘jilbab’. Selain itu konser SLANK feat Rafly, serta konser TOO PHAT yang baru-baru ini diselenggarakan disini juga mematuhi pasal pemisahan penonton tersebut.
Walaupun kalau kata si Okky (sepupu Saya), memang ketika konser SLANK feat Rafly serta konser TOO FHAT ada beberapa orang penonton yang akhirnya berbaur antara Perempuan dan Laki-laki, namun itu lebih dikarenakan faktor membludaknya penonton, tapi kalau dilihat dari pihak penyelenggara yang tetap menggunakan pembatas, dan berusaha agar penonton dapat berada pada pos-nya masing-masing, telah ‘cukup’ untuk dianggap ‘menghargai’ penerapan Syariat Islam di Aceh.
Tidak adanya pembatas ketika konser itulah yang akhirnya dianggap bahwa pihak penyelenggara dinilai tidak mematuhi aturan yang berlaku serta tidak menghormati penerapan Syariat Islam di Aceh, sehingga pihak MPU pun menarik izin untuk konser di Hari ke-Dua, dimana NIDJI dijadwalkan tampil.
Bukan cuma itu saja, bahkan menurut desas-desus yang berkembang di Masyarakat, ada dari pihak ‘oknum’ BEM yang ternyata malah kabur dan lari membawa uang hasil penjualan tiket, sehingga pihak NIDJI pun akhirnya harus menggunakan uangnya sendiri untuk urusan penginapan dan lain-lain selama di Aceh. Bukan hanya itu juga, pihak BEM pun ternyata juga mencatut nama SERAMBI (koran lokal) untuk dijadikan salah satu sponsor, padahal dari pihak SERAMBI sendiri merasa belum pernah ada perjanjian sebelumnya.
Begitu juga dari pihak NIDJI, yang terlihat memang kecewa kepada pihak EO yang tidak berkoordinasi dengan baik, daripada menyudutkan pihak MPU yang mencabut izin Konser, dan begitu juga dari tanggapan beberapa teman Saya yang juga ikut membeli tiket Konser NIDJI yang sangat kecewa ke pihak EO yang dinilai tidak menghargai peraturan-peraturan yang berlaku disini bahkan tidak dapat mengembalikkan tiketnya diganti dengan uang. Namun mereka tetap sangat mengharapkan nanti dikemudian hari "NIDJI" bisa kembali ke Aceh dan benar-benar menggelar konser tanpa ada perselisihan lagi, tentunya dengan penyelenggara (EO) yang lebih kompeten.
Nginap Di Kantor Polisi
Peristiwa yang pada akhirnya membuat sebagian kelompok masyakat melakukan aksi protes, telah membuat pihak Hotel “Hermes Palace” yang diinapi NIDJI merasa ketakutan akan terjadinya tindak ‘anarkis’, sehingga pihak Hotel menolak untuk memberikan kamarnya dijadikan tempat menginap untuk NIDJI, sehingga karena alasan keamaan, akhirnya NIDJI pun menginap di Kantor Polisi.
Walaupun harus menginap di Kantor Polisi, namun tampaknya, sikap baik yang dilakukan oleh Polisi Aceh, bisa membuat NIDJI tidak terlalu menampakkan kekecewaannya, bahkan kalau liat diberita, salah satu personel NIDJI (Giring) malah memberikan statement bahwa “Polwannya juga cantik-cantik pakai Jilbab”, memang tidak seperti Jakarta, yang biasanya jadi Polwan itu Ibu-ibu, kalau disini anak-anak muda pun banyak yang jadi Polwan* lohhh ini kok malah ngebahas Polwan ^.^
Hanya Masalah Komunikasi
Kalau saya secara pribadi, jujur tidak mau mengarahkan opini Saya kepada “Anti” Syariat Islam, karena buat saya ini hanyalah masalah komunikasi antara pihak penyelenggara dengan MPU saja, buktinya konser-konser terdahulu seperti konser RATU, SLANK, THOO PHAT bisa berlangsung dengan lancar tanpa ada perselisihan.
Jadi tidak benar, jika pihak MPU bersikap sewenang-wenang dan bersikap arogan ! lagi-lagi itu hanya masalah komunikasi saja ! walaupun memang harus diakui penerapan Syariat Islam di Aceh masih belum bisa dikatakan sukses, namun bukan berarti kita harus jadi Anti sama “Syariat Islam” kan ?